Kamis, 04 Maret 2010

Sukses dalam Belajar

Kasus carut-marutnya pendidikan kita menunjukkan betapa kita belum memahami konsep Ilmu dengan baik. Sukses menuntut ilmu ditafsirkan terlalu sempit dan pragmatis. Belajar adalah semata-mata demi mendapatkan ijazah dan jabatan terhormat. Maka ada baiknya kita meneropong kembali konsep para ulama kita terdahulu mengenai ilmu dan kesuksesan belajar.

Contoh dilema pendidikan yang paling hangat adalah kasus penghapusan Ujian Nasional (UN). Setelah tejadi perdebatan panjang, akhirnya pada hari Rabu 25 November 2009, MA (Mahkamah Agung) resmi menolak diadakannya UN, sampai kondisi pendidikan Indonesia lebih baik. MA menilai pemerintah telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi, khususnya di daerah pedesaan.

Selain itu, ujian nasional juga dinilai membuka peluang untuk berbuat kecurangan baik yang dilakukan guru maupun siswa agar dapat lulus ujian. Ujian Nasional selama ini memang telah menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Tahun lalu misalnya terjadi kasus, demi Ujian Nasional beberapa siswi nekat menyerahkan kehormatannya kepada seorang dukun agar ia lulus.

Ujian Nasional juga dianggap sebagai akhir dari pertaruhan. Ujian Nasioanl gagal berarti kiamat. Demikian kira-kira kesimpulan dalam benak sebagian siswa Indonesia. UN adalah satu-satunya tolok ukur kesuksesan belajar. Beberapa siswa merayakan secara berlebihan ketika lulus UN. Dua tahun lalu, aparat menangkap sekelompok siswa-siswi Surabaya yang merayakan kelulusan dengan pesta seks.

Kasus-kasus terpuruknya pendidikan kita menunjukkan betapa kita belum memahami konsep Ilmu dengan baik. Sukses menuntut ilmu ditafsirkan terlalu sempit dan pragmatis. Belajar adalah semata-mata demi mendapatkan ijazah. Kecemerlangan sekolah dibuktikan dengan suksesnya mendapatkan pekerjaan yang mapan dan menghasilkan kekayaan. Inilah pemahaman tentang ilmu dan kesuksesan belajar yang salah. Maka ada baiknya kita meneropong kembali konsep para ulama kita terdahulu mengenai ilmu dan kesuksesan belajar.

Para ulama’ salafus shalih telah menuangkan konsep ilmu dalam beberapa karyanya. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah menguraikan secara mendalam pentingnya memahami konsep ilmu dengan baik. Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga macam: Pertama, orang yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang belajar dengan niat mencari sesuatu untuk menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta jabatan terhormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-banggaan dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul Hidayah).

Golongan pertama adalah golongan orang-orang yang memahami konsep ilmu dengan benar. Tujan mencari ilmu pun tidak pernah kosong dari niat untuk menghilangkan kebodohan dalam diri dan mencari ridlo Ilahi. Golongan kedua dan ketiga adalah kelompok penuntut ilmu yang materialis, mencari ilmu untuk duniawi. Jika konsep materialisme tertanam dalam diri thalibul ilmi, maka al-Ghazali memastikan ketika ia menjadi ulama, ia akan menjadi sosok ulama suu’ (ulama’ jahat), yakni ulama yang tidak beradab.

Bisa disimpulkan pula bahwa dunia pendidikan Indonesia sudah terhegemoni dengan konsep materialisme itu, atau menurut al-Ghazali masuk kategori golongan kedua dan ketiga. Motivasi belajar terwarnai dengan tujuan-tujuan duniawi belaka. Sehingga, ketika sebuah perguruan tinggi atau sekolah kejuruan membuat brosur, selalu diselipkan kata-kata jaminan manis untuk bisa bekerja. Seperti “Buat apa gelar kalau nganggur, kuliah aja di…”,” Kuliah singkat, kerja cepat” adalah slogan-slogan manis yang ditawarkan lembaga pendidikan. Akibatnya, ada kampus dibuka hanya untuk melayani pembelian ijazah, karena model perkuliahannya tidak serius, yang penting membayar kemudian lulus. Kenyataan ini, meyakinkan kita, betapa pola pikir pragmatisme menguasai cara kerja lembaga pendidikan.

Niat belajar yang salah akan memproduksi manusia-manusia bermasalah. Rasulullah SAW dalam sabdanya telah memberi peringatan keras bahwa orang yang belajar dengan tujuan untuk berbangga-bangga menjadi ulama’, berkompetisi, menyaingi teman, mencari nama dan mengumpulkan harta dunia akan menjadi manusia yang celaka (HR. Ibnu Majah). Peringatan itu kemudian dita’kid dalam kitab Bidayatul Hidayah oleh Imam al-Ghazali, bahwa bila tujuan mencari ilmu seperti tersebut di atas, maka ia termasuk golongan yang berusaha merobohkan agama, membinasakan diri, dan menjual agama. Orang-orang dengan ciri seperti inilah yang oleh Imam al-Ghazali disebut ulama suu’, atau dalam konteks saat ini bisa kita sebut ilmuwan/cendekiawan jahat. Disebut jahat karena menyalahpahamkan ajaran dan mendakwahkan kesesatan.

Ilmu dan ilmuwan dalam hal ini menjadi prioritas paling utama. Ada sebuah hadits yang maksudnya begini:”Dua macam golongan dari umatku (yang memegang peran penting). Bila mereka baik, maka baiklah umat manusia, dan bila mereka rusak maka rusakklah umat manusia. Ingatlah, mereka adalah pemimpin pemerintah dan ulama (HR. Ibn Abdil Barr dalam Ihya’ Ulumiddin). Imam Hasan r.a. mengatakan: ”Barang siapa yang bertambah ilmunya, kemudian bertambah pula ketamakan kepada dunia, maka tiada yang bertambah kecuali bertambah jauh dari Allah”.

Cukup menarik bila kita menengok pendapat Prof. Sayyid M. Naquib al-Attas, profesor yang menduduki kursi al-Ghazali di kampus ISTAC Malaysia, tentang problem ilmu ini. Menurut beliau tantangan besar yang dihadapi umat ini adalah tantangan ilmu pengetahuan. Problem itu bemula dari kesalahan mendefinisikan ilmu. Bagi al-Attas, demikian sang profesor ini akrab dipanggil, ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Maka, pendefinisian ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia menjadi sangat penting.

Urgensinya, profesor yang juga pakar pemikiran-pemikiran al-Ghazali ini mengatakan, bahwa metafisika pendidikan memiliki implikasi-implikasi yang mendalam, baik pada dataran teoritis maupun praktis. Kebingungan intelektual (intelectual confusing) dan kekeliruan menangkap ilmu adalah disebabkan kekeliruan persepsi mengenai ilmu. Dari kekeliruan persepsi ini selanjutnya melahirkan ketiadaan adab (the loss of adab) pada seorang pemimpin. Uraian-uraian al-Attas ini sebenarnya merupakan artikulasi dari pemaparan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah.

Pada awal babnya di kitab Ihya Ulumiddin al-Ghazali mendahului uraiannya yang panjang mengenai ilmu. Konon, salah satu faktor utama al-Ghazali menulis kitab itu adalah karena keprihatinan beliau setelah melihat kelesuan umat saat itu yang sedang menghadapi perang salib. Kekalahan umat Islam dalam perang itu oleh al-Ghazali tidak dilihat dari sisi kelemahan militer tentara Islam. Namun, dengan cerdas beliau melihat sisi terdalam dari kelesuan itu, yakni kelemahan umat Islam dalam bidang ilmu. Sehingga, lahirlah orang-orang hedonis, materialistik dan pragmatis. Kitab itu ditulis untuk menghidupkan kembali tradisi salaf dalam mengkaji ilmu. Ia ingin membangun kesadaran umat terlebih dahulu dari sisi keilmuan. Karena, menurut al-Ghazali dari kesadaran dan pentradisian ilmu inilah akan lahir generasi-generasi militan yang mencintai din-nya lebih dari segalanya.

Selanjutnya al-Ghazali menerangkan tipologi ilmu. Ketika dipelajari, ilmu akan mengkristal menjadi dua fenomena besar, menurut niatnya masing-masing. Pertama, ilmu yang dipelajari tidak karena Allah (li ghairi llah) memiliki karakteristik zann dan syakk (keragua-raguan). Orangnya akan puas dengan tujuan-tujuan eksternal, fisik atau material. Akibatnya, timbul kegelisahan dalam jiwa atau khawf (takut pada prasangka yang tidak diketahui); huzn; khusr; (kesempitan hidup, derita dalam diri dan akal, depresi); hamm (risau pada bencana yang akan menimpa); ghamm; ‘usr; khasrah (penyesalan tanpa kesudahan). Kedua, ilmu yang dipelajari semata karena Allah (lillah). Ilmunya akan menanamkan i’tiqad yang kuat dalam hati. Orang dengan niat ini memiliki semangat yang tinggi, tidak cepat puas dalam pencapaian ilmunya. Hasilnya adalah yaqin, sukunun nafs (ketenangan jiwa) , khasyatullah (takut pada Allah).

Oleh karena itu, ukuran kesuksesan belajar menurut Imam al-Ghazali tidak dipandang dari sisi kemampuan menghasilkan harta dan meraih kehormatan jabatan, akan tetapi orang yang belajar – apapun ilmu yang dipelajari, baik ulum al-din (ilmu-ilmu syari’at) atau ilmu-ilmu terapan sains – dikatakan sukses bila dia semakin sadar tanggung jawab dirinya kepada Allah, dan takut kepada-Nya. Sumber ilmu hakikatnya satu, yaitu wahyu. Maka sebenarnya tidak perlu ada dikotomi antar ilmu agama dan ilmu umum. Kedua-duanya adalah sarana untuk menuju kepada-Nya. Tujuan pencarian ilmu adalah sebagai perhiasan batin dan diperindah dengan keutamaan-keutamaan untuk meningkatkan kualitas bertaqarrub kepada Allah. Penekanan pada suatu ilmu, hendaknya dimaknai dengan memasang skala prioritas, sementara prioritas mesti diukur dari sisi kepentingan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bisshawab.

Source : www.cahayanabawiyonline.com