Senin, 08 Februari 2010

Islam di Negeri Samba Brasil



Setiap harinya di kota Sao Paulo, Brasil, terdapat tiga warga Brasil yang masuk Islam. Demikian berita sebagaimana dilansir oleh salah satu lembaga Islam di negeri itu. Namun lembaga tersebut belum mendapatkan informasi secara pasti mengenai jumlah kaum muslimin di Brasil.
Sedangkan menurut otoritas Islam yang ada, muslim di Brasil berjumlah sekitar 1 juta hingga 1,5 juta orang. Jumlah itu tampaknya merupakan jumlah akumulatif yang menghitung jumlah kaum muslimin, baik para imigran maupun penduduk asli Brasil yang telah masuk Islam. Berdasarkan surat kabar terbitan setempat, jumlah penduduk muslim di Brasil sekitar 56.000 sampai 70.000 orang.

Mayoritas penduduk Brasil yang masuk Islam berasal dari kalangan pemuda dan pemudi. Fenomena ini menunjukkan, Islam tengah mendapat sambutan hangat di Brasil. Sejumlah pengamat mengatakan, biasanya fenomena tersebut diawali adanya kerusakan moral dalam keluarga dan ketidakstabilan keluarga mereka. Dalam pencarian mereka, mereka pun kemudian masuk Islam ketika mereka mempelajari isi kandungan ajaran Islam yang menurut mereka dapat membawa solusi bagi permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Sejak kapan agama Islam masuk ke Brasil? Dari berbagai tulisan disebutkan, Islam masuk ke Brasil sejak abad ke-16 dan 17 Masehi melalui para budak dari Afrika yang menggunakan bahasa Portugis. Sejak itu, agama Islam berkembang di negara ini. Beberapa waktu kemudian, agama Islam kemudian semakin berkembang dengan adanya kedatangan para imigran Arab.

Dibawa oleh para Budak
Sejarah Islam di Brasil dimulai dengan masuknya orang-orang Afrika dalam bentuk perbudakan. Sejak tahun 1550, orang Portugis telah menggunakan budak bangsa Afrika untuk bekerja di kebun tebu yang sebelumnya dimusnahkan oleh penduduk setempat. Brasil menerima 37% dari seluruh budak Afrika yang diperdagangkan, berjumlah sekitar 3 juta orang.

Sebagian sarjana menyatakan, Brasil merupakan negara Amerika yang paling banyak menerima muslim bangsa Afrika. Tahun 1835, di Bahia, muslim berbagai bangsa pernah mengadakan suatu pemberontakan. Peristiwa itu menyebabkan banyak orang terbunuh.
Sejak itu, Portugis berjaga-jaga terhadap Afro-muslim, termasuk memaksa mereka menganut agama Katolik. Walaupun demikian, komunitas muslim di Brasil tidak dapat dienyahkan begitu saja. Hingga tahun 1900, tercatat masih terdapat 10.000 Afro-muslim yang hidup di Brasil.
Setelah masa asimilasi paksa terhadap Afro-muslim, perkembangan Islam di Brasil telah memasuki suatu era yang baru dengan adanya imigran muslim Timur Tengah ke negara ini. Kebanyakan mereka berasal dari Suriah.

Berdasarkan sejarah tradisional Brasil, penemuan negara ini tidak terlepas dari penjelajah Portugis bernama Pedro Alvarez Cabral. Belakangan, sumber sejarah terbaru menyodorkan satu fakta berbeda bahwa penemu Brasil adalah penjelajah asal Spanyol.
Semakin banyak ahli sejarah, baik muslim maupun non-muslim, kian menyadari kuatnya kehadiran muslim di periode awal penemuan Amerika. Bukti itu diperkuat dengan penemuan prasasti bertuliskan nama Allah. Dalam bahasa asli orang Amerika, bisa ditemukan dengan mudah kata-kata asli Arab.

Menurut sebagian pengamat dan sejarawan, nama beberapa kota di Brasil yang sering dikaitkan dengan bahasa asli orang Amerika, sebenarnya lebih cocok dikatakan sebagai bahasa Arab asli. Bahkan, apabila seluruh informasi ini dikonfirmasikan dan dicatat sebagai bagian dari sejarah Brasil, bisa jadi Brasil ditemukan oleh seorang muslim.
Selain itu, melalui budak muslim yang dibawa dari Afrika, dapat pula diidentifikasi pengaruh kebudayaan Islam, meski sebagian besar cenderung terdistorsi belakangan ini. Bukti ini bisa ditemui di bagian timur laut Brasil.
Walhasil, sejak ditemukannya Brasil pada abad ke-15 dan didatangkannya para budak dari barat dan utara Afrika, dunia Latin mulai dikenalkan pada Islam. Para budak dan orang Spanyol ini hidup tersebar di Brasil, Venezuela, Kolombia, dan Kepulauan Karibia. Sebagian besar muslim saat itu adalah para budak.

Tapi, dalam beberapa kasus, termasuk setelah peristiwa pemberontakan di Bahia, mereka diharuskan mengganti kepercayaannya secara terpaksa. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, Islam pun menghilang dari negara-negara Amerika Latin, termasuk Brasil.
Pada akhir abad ke-16, setelah pembebasan para budak, muncul komunitas muslim. Para budak yang dibebaskan ini membentuk komunitas bersama dengan imigran dari India dan Pakistan. Berdasarkan beberapa dokumen, selama tahun 1850 dan 1860, terjadi imigrasi besar-besaran muslim Arab ke tanah Amerika.

Sebagian besar mereka datang dari Suriah dan Lebanon. Mereka menetap di Argentina, Brasil, Venezuela, dan Kolombia. Sebagian juga tinggal di Paraguay, bersama-sama dengan imigran dari Palestina, Bangladesh, dan Pakistan.
Imigrasi ini berlangsung secara terus-menerus dan mulai berkurang pada tahun ‘50-an. Sementara di Kolombia, pengurangan imigran terjadi pada dekade ‘70-an. Hingga kini masih banyak yang menetap di Brasil dan Venezuela.

Komunitas ini, seperti halnya di Amerika Serikat, membaurkan dirinya dengan kegiatan nasional, bekerja keras dan mencintai negara yang menaunginya. Banyak di antara mereka yang menciptakan komunitas Islam, mendirikan pusat dakwah Islam dan masjid. Semua itu membuktikan, Islam bukanlah barang asing bagi kebudayaan Brasil, melainkan bagian penting dari kebudayaan Brasil. Setidaknya, itulah pandangan Maria Moreira, muallaf Brasil yang kini tinggal di Mesir dan pengajar di Universitas Rio de Janeiro. Karena itu, Maria optimistis, Islam bisa diperkenalkan kepada masyarakat Brasil secara lebih luas.

Baru dalam Tahap Menghadirkan
Brasil pernah mencatat sejarah dalam penyebaran Islam di Amerika Latin. Masjid pertama kali yang dibangun di wilayah itu adalah Masjid Raya Sao Paulo di Brasil, yang mulai digagas tahun ‘30-an. Tahun 1939, tokoh-tokoh muslim Brasil saweran membeli lahan.
Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tahun 1948 dan baru berakhir pembangunannya tahun 1960. Lamanya pembangunan masjid tak lepas dari sulitnya upaya penggalangan dana yang dilakukan umat Islam di negeri tersebut. Begitu pembangunan masjid rampung, umat Islam sudah tersebar ke seantero Brasil. Di daerah-daerah baru itu, mereka juga mendirikan masjid. Jumlah masjid pun kian berkembang dan tak hanya di Sao Paulo. Sedangkan madrasah mulai berdiri di Brasil sejak tahun ‘60-an.

Pertama kali madrasah berdiri di Sao Paulo, daerah yang paling banyak dihuni umat Islam. Setelah itu, berdiri pula madrasah di wilayah Cortiba dan beberapa tempat lainnya. Madrasah digunakan sebagai semacam diniyah, yaitu untuk mengajarkan ilmu agama dan bahasa Arab.
Islam memang sudah hadir di negara ini sejak lebih dari 500 tahun. Namun muslim di negara ini merupakan minoritas. Saat polemik pemuatan karikatur Nabi SAW menyeruak, negara ini adem ayem saja. Mereka menempuh “cara sopan” dalam memprotes karikatur itu, bukan dengan turun ke jalan, tapi lebih pada seruan introspeksi. "Tunjukkan kepribadian Rasulullah SAW melalui diri Anda," begitu seruan para pemimpin muslim di negara itu.

Dakwah Islam di Brasil tampaknya masih lebih ditujukan bagi komunitas mereka sendiri. Mereka, yang sebagian besar tinggal di kawasan Sao Paulo dan Parana, adalah komunitas muslim yang kebanyakan asal Lebanon yang meninggalkan negaranya ketika terjadi perang saudara.

Mayoritas penduduk Brasil adalah penganut Katolik yang sangat taat. Bahkan negara ini salah satu negara Katolik terbesar di dunia. Namun saat ini, Katolik telah banyak kehilangan pengikut di negara yang penduduknya dikenal gila sepakbola ini.
Masih minimnya penganut Islam di negara ini dikaitkan dengan kandungan kebudayaan Latin yang banyak bergesekan dengan ajaran Islam. Kebudayaan Brasil dipenuhi dengan aneka permainan, menari-nari dengan membuka aurat, dan sederet aktivitas budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Syaikh Khalil Saifi, koordinator The Center of Divulgation of Islam to Latin America, yang berpusat di Sao Bernardo do Campo, menyatakan, dakwah Islam di negeri ini baru sebatas menghadirkan Islam dan membantu masyarakat Brasil mengenal Islam. Selain itu juga memelihara hubungan mereka dengan bahasa dan juga kebudayaan Islam. "Orang Brasil yang datang ke sini pastilah sebelumnya bersentuhan terlebih dahulu dengan komunitas muslim Arab," ujarnya.

Problem lainnya, saat ini Brasil amat kekurangan dai dan guru agama, meski masjid dan madrasah banyak berdiri di Brasil. Kondisi ini memang sangat disayangkan. Pada saat masjid dan madrasah sudah berdiri, juru dakwah dan mereka yang berpengalaman dalam bidang agama masih sangat minim sehingga pengelolaannya tidak maksimal.
Mingguan berbahasa Arab, Al-'Alam Al-Islamy, edisi 29 Agustus lalu, mengungkapkan, umat Islam di Brasil sejak lama telah berupaya untuk mendirikan sarana ibadah berupa masjid dan madrasah. Bagi mereka, upaya ini tentu bukan hal yang mudah. Islam merupakan minoritas.
Sayangnya, setelah sekian lama mereka bekerja keras dan kemudian terwujud bangunan masjid dan madrasah tersebut dalam jumlah yang memadai, kekurangan sumber daya manusia menghadang. "Kegiatan dakwah masih jalan di tempat," tulis mingguan berbahasa Arab itu. Banyak faktor yang menyebabkan itu terjadi. Minimnya juru dakwah dan orang-orang yang berpengalaman di bidang tersebut menjadi kendala.

Sepertiga Masjid Ditutup
Di kawasan Amerika Selatan, Brasil merupakan negara terbesar, baik dari luas wilayah maupun jumlah penduduk (180 juta jiwa). Negara yang menjadi gudangnya pesepakbola terkenal di dunia ini juga merupakan pusat agama Katolik di wilayah tersebut.
Untuk meneguhkan status itu, orang-orang Brasil pun membangun sebuah patung Yesus Kristus dalam ukuran cukup besar, tahun 1850-an. Terletak di puncak Bukit Corcovado, Rio de Janeiro, patung yang dinamakan Cristo Redentor ini bahkan pernah diusulkan menjadi satu dari sekian keajaiban dunia.

Di tengah dominasi Nasrani, agama Islam terus berupaya mengembangkan diri. Ya, umat muslim memang eksis di sini, bahkan telah ada sejak beberapa abad lampau. Geliat Islam terbilang cukup baik. Dan, itu ditunjang situasi di dalam negeri yang kondusif. Brasil merupakan negara yang memiliki keanekaragaman etnis, budaya, dan keagamaan.
Semua komunitas maupun golongan memiliki kesempatan sama untuk berkembang. Islam, misalnya. Jumlah masjid di Brazil hingga kini tercatat sekitar 120 unit. Begitu pula dengan pusat-pusat Islam, yayasan amal, dan organisasi-organisasi keagamaan. Seperti diungkapkan Al-Sadiq Al-Othmani, kepala Departemen Urusan Islam pada Pusat Dakwah Islam di Amerika Latin, umat Islam merasakan sebuah suasana toleransi. ''Mereka bebas untuk berdoa dan membangun masjid,'' katanya.

Peluang ini pun tak disia-siakan. Umat muslim setempat terus menggencarkan dakwah Islam. Tak hanya lewat jalur konvensional, seperti di masjid atau pusat keislaman, dakwah juga dilakukan melalui media elekronik maupun internet. Selama ini untuk berkhutbah, kata Othmani, para dai dan relawan harus menempuh perjalanan selama dua hingga tiga jam untuk mencapai masjid di dalam kota.

Bayangkan apabila masjid yang akan dituju berada di luar kota, waktu yang dibutuhkan bisa jadi 12 jam. ''Maka itu, melalui internet, sebuah khutbah akan dapat langsung diakses oleh umat di berbagai kota sehingga lebih efisien dan efektif,'' katanya.
Namun demikian, belakangan ini dakwah yang dilakukan mulai menemui kendala. Berbagai media melansir laporan bahwa sejumlah masjid di Brazil ditutup karena kekurangan imam dan dai. ''Ada sepertiga jumlah masjid yang ditutup,'' kata Othmani. Menurut Khaled Taqei Al-Din, seorang imam di Sao Paolo, dari 120 masjid yang ada, hanya ada sekitar 40 imam dan khatib. Itu pun hanya sedikit yang menyelesaikan pendidikan syari’at di tingkat perguruan tinggi.

Segenap umat di sana berharap dukungan dari negara-negara muslim untuk memakmurkan dakwah di Brasil. ''Terutama penyediaan buku-buku rujukan yang ditulis dalam bahasa kami,'' katanya.
Pengurus Islamic Center Kawasan Amerika Latin, lembaga yang mengoordinasikan kegiatan dakwah di wilayah itu, juga tak tinggal diam. Menurut pemimpin Islamic Center tersebut, Sheikh Ahmed bin Ali Al-Swayfiy, mereka sedang mengupayakan penerjemahan beberapa buku keislaman ke bahasa Portugis. ''Intinya, jangan sampai kegiatan dakwah terhambat,'' katanya.
Sayang sekali memang, kini masjid, mushalla, dan madrasah-madrasah tersebut banyak yang tutup, dan bisa jadi kehilangan ghirahnya karena kurangnya tenaga pendakwah di sana.

Sumber : www.majalah-alkisah.com

0 comments: