Selasa, 09 Februari 2010

KALLAH wa DIMNAH : meneladani nilai dalam cerita/dongeng


Salah satu cara yang efektif untuk menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai moral kepada anak-anak adalah melalui cerita. Jenis cerita yang menarik adalah fabel, yaitu cerita tentang hewan yang bertutur kata dan bertingkah laku seperti manusia dalam sebuah alur cerita tertentu. Fabel bukan saja digemari oleh anak-anak, tetapi juga oleh orang dewasa.

Terlebih bagi yang ingin menyampaikan kritikan atau pesan moral tertentu secara tidak langsung, agar tidak melukai perasaan orang yang dikritik. Jadi tidak heran, jika beberapa cerita fabel memiliki kemiripan dengan situasi sosial dan politik tertentu karena memang kebanyakan fabel diangkat dari kedua situasi tersebut yang benar-benar terjadi. Umumnya, fabel bercerita minimal tentang dua hewan yang menjadi tokoh sentralnya dan masing-masing mewakili kebaikan dan keburukan, terkadang ada hewan lain yang menjadi korbannya. Seperti fabel Kalilah Wa Dimnah dengan tokoh sentral Singa dan Serigala.

Kalilah Wa Dimnah adalah fabel termasyhur yang sampai sekarang masih dikenang dan dikenal orang. Fabel ini dikarang oleh Baidaba, seorang filosof India. Ibnu Al-Muqoffa, sastrawan muslim asal Arab, kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab tanpa mengubah makna yang terkandung di dalam karya aslinya. Selain diterjemahkan, Ibnu Muqoffa juga menambahkan atau menyisipkan dua belas cerita karangannya untuk melengkapi cerita pokok dari Kalilah Wa Dimnah, yaitu: Hikayat Singa dan Lembu, Hikayat Burung Merpati dengan Tikus, Hikayat Burung Hantu dengan Gagak, Hikayat Kera dengan Kura-kura, Hikayat Orang Saleh dengan Cerpelai, Hikayat Tikus dengan Kucing, Hikayat Raja denga Burung Kakatua, Hikayat Singa dengan Serigala yang Saleh, Hikayat Singa Betina dengan Pemanah, Hikayat Raja Balad dengan Permaisuri Irah, Hikayat Musafir dengan Tukang Emas, dan Hikayat Anak Raja dan Kawan-kawannya..

Kalilah Wa Dimnah versi Ibnu Al-Muqoffa ini kemudian lebih dikenal daripada versi aslinya dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Melayu, Jawa dan Madura. Dalam terjemahan bahasa Melayu, ada empat versi yang masyhur. Namun, setelah dilakukan penelitian, versi yang mendekati aslinya adalah yang dikarang oleh Nasrullah pada tahun 1142, yang diberi judul Dalang atau Sagala Cerita dan Dongeng.

Di dalam fabel Kalilah Wa Dimnah, sebagaimana ditulis ulang oleh Fitriyah, dikisahkan tentang seekor Serigala yang bernama Dimnah. Dia iri melihat eratnya persahabatan antara si Singa (Kalilah) dan Lembu (Syatrabah). Tekad dan hasrat Dimnah begitu kuat untuk mengadu domba dan memutuskan tali persahabatan dan hubungan politik antara Kalilah dan Syatrabah. Dimnah pun melakukan segala tipu muslihat dan fitnah halus yang ditebarkan di antara kedua sahabat itu. Semua yang dilakukan Dimnah tidak lain hanya karena ia haus akan kekuasaan dan rasa hasutnya belaka. Akhirnya, dengan intrik-intrik yang diterapkan, Dimnah berhasil menghancurkan persahabatan dan hubungan politik mereka. Ketika Dimnah berhadapan dengan Kalilah, ia mengatakan bahwa Syatrabah secara tersembunyi menyimpan taktik dan rencana untuk merampas kekuasaan dari tangan Kalilah. Sedangkan ketika Dimnah berhadapan dengan Syatrabah, ia melemparkan fitnah bahwa di balik sikap baik Kalilah terdapat ambisi politik yang berbahaya. Dari fitnah yang dilontarkan Dimnah, berhasil membuat keduanya jadi terbakar api kemarahan dan benci. Dengan kejeniusan Dimnah, keduanya dapat dipengaruhi oleh kata-katanya. Akhirnya Kalilah merencanakan intrik-intrik bagaimana membinasakan Syatrabah, yang sebenarnya teman baik baginya. Dimnah berkata kepada Syatrabah bahwa Kalilah ingin membunuhnya karena Kalilah, di dalam hatinya, sebenarnya benci kepada Sytarabah. Karena Sytrabah termakan hasutan Dimnah, akhirnya Syatrabah pun menyiapkan rencana dan taktik untuk mengadakan perlawanan, sebelum ia dilawan oleh Kalilah. Namun sayangnya, rencana Sytrabah gagal karena Dimnah telah membocorkan rencanaya kepada Kalilah. Sehingga akhirnya Syatrabah pun diamankan atau ditangkap dan kemudian dihukum mati. Namun kemudian, ada kabar yang memberitahukan kepada Kalilah, bahwa Dimnah telah menyebarkan fitnah. Semua kata yang digembar-gemborkan di antara kedua sahabat itu adalah dusta, karena Dimnah mempunyai hati yang busuk, berniat menghancurkan persahabatan mereka. Dan akhirnya kejahatan Dimnah terbuka sehingga menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Dimnah ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan dihukum mati sehingga mengakhiri karir politiknya dan sekaligus hidupnya. Atas Semua kejadian itu, Kalilah pun menyesali perbuatannya karena dapat terhasut oleh fitnah Dimnah. Kalilah sedih, apalagi ketika mengenang masa-masa indah bersama Syatrabah. Ia menjadi menjadi kesepian karena semenjak Syatrabah meninggal, menurut Kalilah tak ada kawan yang sebaik Syatrabah.

Pembaca, atau saya, setelah membaca fabel Kalilah Wa Dimnah di atas dapat juga berkreasi untuk menghasilkan versi baru dari fabel tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Muqoffa dan Nasrullah . Versi yang, misalnya, terilhami dari perseteruan KPK dan Polri yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Perseteruan yang juga menggunakan dua hewan sebagai simbolnya. Yang satu mewakili sosok Kalilah dan yang lainnya mewakili sosok Syatrabah. Dengan alur cerita yang persis sama: keduanya menjadi korban hasutan pihak ketiga, langsung maupun tidak langsung (terwakili oleh sosok Dimnah) yang tidak ingin melihat keduanya kompak dan bersatu untuk menghabisi para koruptor. Namun, apakah akhir cerita versi baru ini harus sama dengan versi lamanya? Semua tergantung kepada pilihan dan tindakan para pemimpin bangsa ini, jika tidak ingin generasi ke depan (yang juga cucu, cicit dan keturunan mereka), terwariskan fabel baru asli bangsa ini berdasarkan kisah nyata kakek buyut mereka, Perseteruan antara Cicak dan Buaya, dan bernasib sama tragisnya dengan fabel Kalilah Wa Dimnah.

Source : www.islamic-center.or.id

0 comments: